Jumat, 19 Oktober 2007

Sebuah Kritik untuk MetroTV (juga Editorial Media Indonesia)

Tadi malam saya menyaksikan tayangan dialog “Save Our Nation” di MetroTV. Dimoderasi oleh Rizal Malarangeng, menghadirkan pembicara Saiful Mujani (Direktur Eksekutif LSI), Tatat R. Utami (Profesional) , dan M. Ikhsan Loulembah (Aktivis Demokrasi). Hampir kesemua nama tidak terlalu asing bagi saya, karena pernah saya simak dalam milis JIL, begitu pula Deny JA, yang sebelumnya menduduki jabatan yang kini diduduki Saiful. Tema dialog malam tadi adalah Sekularisasi Politik Islam di Indonesia.

Dialog diawali dengan paparan hasil survey LSI (entah dengan subyek sample yang mana) oleh Saiful bahwa 60% lebih masyarakat Indonesia menyatakan ketidak setujuannya tentang penggabungan agama (dalam pengertian bahwa agama hanya mengatur masalah futuristik, abstrak, dan personal) dengan kehidupan bernegara (baca: politik). Bahasan kemudian bergulir dengan sekilas kontradiksi hasil survey tersebut dengan realitas peningkatan “keshalihan” masyarakat Indonesia yang (salah satunya) direpresentasikan secara simbolik, semisal melalui penggunaan jilbab (baik dalam artian kerudung maupun hijab).

Menanggapi hal tersebut, Tatat dan Ikhsan cukup cerdas menganalisis bahwa realitas peningkatan keshalihan dipengaruhi oleh perubahan/pengayaan pengajaran (dakwah) nilai-nilai agama (baca: Islam). Kini kemasan dakwah lebih populis, mengikuti zaman, demikian halnya dengan jilbab yang hadir sebagai bagian dari mode dan tren. Kini, jilbab tidak identik dengan ideologi. Ia boleh jadi hanya ekspresi mode.

Peningkatan religiusitas ini bersifat individual dan sama sekali tidak direpresentasikan dalam wilayah politik. Masyarakat tetap menganggap agama dan politik adalah domain yang berbeda (atau mungkin mereka takut agama yang suci dikotori oleh kebusukan fenomena politik dewasa ini, -ini kata saya). Dodolnya, Rizal bilang kurang lebih begini “Ternyata keresahan tentang radikalisme yang timbul seiring meningkatnya penggunaan jilbab dan aktivitas keagamaan tidak terbukti”. Yang saya herankan adalah: What the hell “keresahan” sih maksudnya? Aih, dikaitkan dengan “radikal” pula! Kesannya jilbab identik dengan sesuatu yang jahat.

Pembicaraan kemudian pelan-pelan bergeser ke wilayah politik praktis riil yang kemudian mengerucut pada dua akronim, yakni PKS dan Golkar. Anyway, saya menghitung lhoo betapa seringnya si Saiful ini menyebut dan mengkomparasikan PKS dengan Golkar. Jadi ragu nih sama LSI.

Di “segmen” politik ini Saiful bilang, buktinya walau tingkat religiusitas naik, animo orang terhadap partai berbasis Islam masih tidak meningkat. Yang dimaksud partai Islam dalam dialog ini adalah PKS dan PPP (sedang PAN dan PKB dimasukkan sebagai partai dengan latar belakang ormas. Padahal, kalo dipikir.. ormas Islam juga. PKB menurut saya masih berada dalam domain Islam. Well, “nice try” untuk mengarahkan dialog). Kalau pun PKS mengalami peningkatan suara, itu lebih karena suara limpahan dari partai dari lini yang kurang lebih sama (yakni PPP). Saiful menyebut ini sebagai fenomena “jeruk makan jeruk”.

Kedodolan yang kedua dilakukan oleh Saiful. Saiful bilang begini kurang lebih “Kalo yang terjadi adalah PKS dapat menyaingi suara Golkar, misalnya. Maka baru dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia tidak sekuler”. Mengapa saya bilang Saiful dodol?
1. Saiful sebaiknya buat survey baru deh.. mengapa orang pilih PKS. Saya heran, phobia terhadap Islam justru melahirkan kebodohan-kebodohan intelektual yang tidak perlu dan seringkali bertentangan dengan budaya berpikir ilmiah.
2. Saiful melupakan faktor sejarah. Masyarakat Indonesia memilih Golkar (juga PDIP dan PPP) bukan karena masalah sekuler atau tidaknya, melainkan lebih dominan karena faktor “kebiasaan” dan “keakraban” masyarakat yang selama 30 tahun lebih hanya melihat tiga gambar partai tersebut. Belum lagi soal dana kampanye partai-partai incumbent ini.. yang nilainya fantastis. Sementara masyarakat kebanyakan masih lebih suka “dicocok” hidungnya daripada dicerdaskan. Mereka akan lebih suka “dicerdaskan” dengan duit. Masyarakat Indonesia itu masokis sepertinya.

Ikhsan dan Tatat menimpali, pilihan orang kepada PKS bukan karena aspek ideologis, melainkan karena (jika boleh dibilang) marketing PKS yang bagus, yakni dengan nilai-nilai universal, figur baru, dan kampanye yang simpatik. Ikhsan bilang, jika PKS mau sedikit melonggarkan sisi ideologis, ini akan baik ke depannya. Tatat menambahkan soal tren musyarokah, yakni pemunculan calon-calon independen seperti Adang dalam Pilkada DKI kemarin, sebagai salah satu keunggulan PKS.

Kedodolan ketiga, kembali dilakukan oleh pak Saiful. Saiful justru tidak sependapat dengan Ikhsan dan Tatat. Kata Saiful, ini justru di sisi lain bisa memperlemah PKS, sebab masyarakat jadi tidak dapat melihat sisi “ke-PKS-an”nya, sembari mencontohkan koalisi PKS dan Partai Kristen (dia gak nyebut partai apa) di Papua. Inkonsistensi telah terjadi, Para Pemirsa! Semula Rizal bicara soal citra ekstrimisme Islam dan Saiful tidak berkomentar apa pun. Saiful menekankan bahwa yang dikemukakan adalah hasil survey LSI. Sementara pada paro terakhir diskusi Saiful bicara soal (yang menurut saya) adalah pendapatnya sendiri.

Jika boleh saya lawan dengan pendapat saya (yang tidak ada basis surveynya juga..jadi imbang), masyarakat justru merasa lebih nyaman dengan warna PKS yang tidak terlalu “ideologis” (saya jamin di satu titik orang yang waras akan bingung dengan kata “ideologis” di sini). Itu logika sederhana saja, sebagaimana kampanye Aa Gym, Uje, dll. Warna PKS akan hilang jika para petingginya tidak lagi merepresentasikan nilai moral dan integritas, serta tidak berkembang seiring “logika” beragama masyarakat (misal. Sibuk poligami, sibuk membuat sistem baru seperti khilafah). Maka, melalui tulisan ini berbekal cinta saya ingin mengingatkan para anggota dewan dari FPKS, agar tetap menjaga diri dan keluarga dengan baik. PKS sedari mula telah melekatkan kata “dakwah” dengan entitasnya. Maka, sekali tercoreng, dakwah Islam di negeri ini dapat porak poranda. Era musyarokah juga bukan era yang tanpa tantangan. Dalam arena politik, aspek keshalihan harus diejawantahkan lebih lanjut dalam
kelihaian sekaligus kesucian. Sebelum calon Kada DKI resmi diumumkan, misalnya, politisi lihai pasti melihat PKS sebagai sebuah kekuatan (baca: tameng) yang harus diajak berkoalisi.

Pada akhir dialog saya punya kesimpulan tersendiri. Religiusitas bangsa ini masih dini/prematur, maka tak heran jika secara parsial bangsa ini masih sekuler. Namun saya percaya bahwa jika tingkat religiusitas suatu bangsa sudah mapan, maka secara otomatis, perubahan sistemik akan terjadi, pun dalam sektor kenegaraan dan politik. Jadi kalaupun ada pihak yang takut dengan ketiadaan kehidupan sekuler, ya.. menurut saya suatu saat itu akan terjadi. Lalu, mengapa pula mesti ketakutan dengan ketidak-sekuleran kehidupan negara? Saya tidak tahu Rizal Malarangeng belajar agama (baca: Islam) dimana, namun yang saya pelajari, dalam kehidupan Rasulullah saw. tidak ada pemaksaan keimanan, tidak ada hukuman bagi orang bukan-muslim, karena syariah berlaku hanya bagi pemeluknya. Sementara soal ekonomi syariah, Barat justru lebih maju dan obyektif menerima hal tersebut sebagai keunggulan.

Satu lagi, ada ungkapan yang dikemukakan Rizal, yang disitir dari Bung Karno, yakni “Barang siapa yang melawan sejarah, maka akan digilas olehnya”. Kurang lebih demikian. Kalimat ini dilontarkan setelah berbicara soal “pelenturan” yang perlu dilakukan PKS. Nah, saya ndak mudheng lho.. sebenarnya apa pentingnya kalimat itu (ini sama sekali terlepas dari keskeptisan atau keagnostikan saya terhadap Bung Karno). Seakan sejarah adalah sesuatu yang mutlak. Saya rasa kehadiran ICT juga sudah mampu membuktikan bahwa sejarah adalah kisah orang-orang menang, dan yang lebih penting sejarah bukanlah suatu pola yang perlu dilestarikan. Saya rasa ungkapan tersebut tidak tepat untuk menegaskan bahwa PKS perlu berinovasi dan semakin giat menunjukkan wajah ramah Islam.

Boleh percaya, boleh tidak, tapi dialog malam tadi berubah tema jadi “Masa Depan Politik PKS”. Lalu, dimana esensi “Save Our Nation”nya ya… jika isi dialognya tidak mencerahkan?(http://warastuti.blogspot.com)

1 komentar:

Andri Faisal mengatakan...

yah begitulah orang-orang yang mider terhadap islam